1. Tuliskan
dan tafsirkan 1 lagu pop Indonesia yang menuliskan tentang Indonesia ?
Jawab :
Judul
: Kolam Susu
Artis
: Koes Plus
Bukan
lautan hanya kolam susu
Kail
dan jala cukup menghidupimu
Tiada
badai tiada topan kau temui
Ikan
dan udang menghampiri dirimu
Bukan
lautan hanya kolam susu
Kail
dan jala cukup menghidupimu
Tiada
badai tiada topan kau temui
Ikan
dan udang menghampiri dirimu
Orang
bilang tanah kita tanah surga
Tongkat
kayu dan batu jadi tanaman
Orang
bilang tanah kita tanah surga
Tongkat
kayu dan batu jadi tanaman
Tafsiran
/ makna lagu tersebut :
Lagu diatas menceritakan atau menggambarkan
betapa istimewa dan ajaibnya Negara kita ini (Indonesia). Negara yang dipuja karena
kaya raya, melimpah berkah dari sang pencipta. Kolam susu, bercerita tentang
keindahan dan kemakmuran yang sangat luar biasa. Yang memiliki tanah yang
subur, pemandangan alam yang indah, sumberdaya alam yang melimpah ruah, lautan
yang amat luas yang kaya akan sumberdaya laut, iklim cuaca yang ramah.
Kail dan jala cukup
menghidupimu, makna dari lirik ini adalah saking Indonesia mempunyai kekayaan
laut yang melimpah mempunyai berbagai macam jenis ikan dilautan atau sungai
yang jumlahnya sangat banyak dan ekosistem laut yang terjaga. Sehingga sangat
mudah untuk masyarakat mendapatkan ikan yang umumnya digunakan untuk di
konsumsi dan juga dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kemudian, Tiada
badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampirimu., maksudya adalah
saking banyak dan jinaknya ikan dan uadang pun akan bersedia menghampiri
manusia tanpa diundang dan ditangkap.
Tanah surga adalah tanah yang
subur. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, maknanya adalah menggambarkan tentang
tanah Indonesia yang sangat subur dan sangat mudah ditanami berbagai macam
jenis-jenis tumbuhan, sampai-sampai tongkat dan kayu pun tumbuh menjadi tanaman
untuk menghidupi manusia.
2. Seandainya
anda menjadi caleg apa yang akan anda rencanakan / programkan ?
Jawab
:
Jika saya menjadi calon legislatif (caleg) tentu
saya mempunyai program-program seperti berikut yang berguna untuk memajukan
Indonesia yang lebih baik lagi dan memprioritaskan kebutuhan untuk kepentingan
bersama, beberapa contoh yang akan saya berikan jika saya terpilih nanti adalah
:
·
Membebaskan biaya pendidikan bagi
anak-anak kurang mampu.
·
Wajib belajar 9 tahun bagi anak kurang
mampu.
·
Membuka lapangan pekerjaan yang baik.
·
Menjadikan kota yang lebih tertib dan
taat peraturan.
·
Memberikan program kesehatan gratis
untuk warga kurang mampu.
·
Memberikan santunan kepada anak yatim
piatu.
·
Menindak tegas pelaku korupsi.
·
Memberikan fasilitas pelayanan publik
yang baik.
·
Memperbaiki jalan-jalan yang sudah rusak
/ tidak layak.
Jika
benar-benar terpilih nanti tentu saja program-program yang saya tuliskan
tersebut pasti akan saya penuhi, karena ini merupakan kewajiban bagi seorang
pemimpin yang baik dan ini juga merupakan amanah dari warga yang harus saya
jalankan dengan baik, tentu saya akan sangat berterima kasih kepada seluruh
masyarakat yang sudah mempercayai saya untuk menjadi anggota legislatif.
3. Tuliskan tanggapan dan cari jalan keluar tentang
lokalisasi ?
Jawab :
·
Tanggapan :
Tempat lokalisasi adalah tempat
yang sangat hina menurut saya, banyak
perbuatan kemaksiatan di dalamnya, banyak
pekerja seks komersial yang melayani lelaki hidung belang. Tentu ini sangat
merugikan banyak pihak, maka ini semua harus diberikan tindakan yang tegas,
jika tidak benar-benar diberikan tindakan yang tegas tempat ini akan semakin
banyak karena saat ini banyak pengangguran merajalela dan permasalahan ekonomi
penyebab utamanya. Sebenarnya mudah saja untuk menghapus tempat lokalisasi
seperti ini, yaitu dengan cara menindak tegas para pebisnis yang membangun
tempat lokalisasi dan juga menindak psk nya, yang mana terlebih dahulu mencari
kesepakatan agar pebisnis tidak membangun tempat itu lagi dan si psk tidak
melakukan pekerjaan itu lagi.
·
Jalan Keluar :
Memberikan pekerjaan yang layak
untuk para bekas psk, memberikan sebagaimana pekerjaan tersebut bias cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, supaya pihak tersebut tidak
mengeluh terhadap perubahan gaya hidup nya yang sebelumnya menjadi psk.
Memberikan pembinaan yang baik terhadap bekas psk tersebut dengan pencerahan
hati dan pikiran untuk tidak menggeluti pekerjaannya sebagai psk, bahwa
pekerjaan itu sangat hina dan merupakan dosa besar, dan psk tersebut akan sadar
atas apa yang mereka kerjakan tersebut sangat tidak baik. Dan yang terpenting
pemerintah dapat memenuhi janji-janji yang telah disepakati untuk memberikan
pekerjaan yang layak.
1. Kembalikan indonesiaku ke indonesia ?
KASUS
SIPADAN-LIGITAN
Pada Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika
Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Japex
(Japan Exploration Company Limited) tahun 66. Malaysia juga melakukan kerjasama
dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 68, sebagai tanggapan terhadap kegiatan
eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim
bahwa Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di
tolak oleh pemerintah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi
berlangsung dengan cara “Asian Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog,
dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam
tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan
cara “sambil minum teh”.
Ternyata Indonesia sungguh terbuai dengan model seperti itu
sehingga Indonesia tiba-tiba kaget ketika pada bulan Oktober tahun 91, Malaysia
tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah
Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah
dibangun turisme dan arena diving yang sangat bagus (betapa “kasihannya”
Indonesia itu). Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat
untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague
di Belanda.
Maka Mahkamah Internasioanal pada tahun 1998 masalah
sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17
Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan
Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang
yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap
dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih
oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan
batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan
berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi
gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia
di selat Makassar.
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada
Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi
dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan
Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara karena
dengan diplomasi semacam ini akan menghindari peperangan sesame Negara Asia
Tenggara, Cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang
menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru
sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara
anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial
Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik
Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN.
ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam
pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu
negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN
sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk
menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan
persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan
beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama
dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia
terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun
anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya
Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar
Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan
diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan
para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita
menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan
dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur
lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan
pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun
melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun
1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti
historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997
pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan
masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan
pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian
dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang
panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha
apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita
seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah
efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai
merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan
fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa
melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita
terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti
bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu
saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia
berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga
Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun
bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah
perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang
berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah
internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan.
Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan
terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive
occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata
hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila
ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan
otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan,
tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya.
Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk
mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan
friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat
Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian
dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang
dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”,
membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi
secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat
lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya.
Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan
yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari
tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan
penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut
nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk
mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan
political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus,
pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak
terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan
konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat
kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait
batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat
perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan
kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah
menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan
Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat
kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari
luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika
dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan
militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan
akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama
sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu
melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan
militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari
kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang
waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun
1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang
613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL
itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24
kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan
dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena
itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya
wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan
tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan.
Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah
juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum
diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan
perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah
terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang
paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di
wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait
pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.
Maka dari itu Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah,Putusan
Mahkamah Internasional untuk menyerahkan status Sipadan-Ligitan kepada Malaysia
merupakan pengalaman berharga yang mesti ditarik hikmahnya oleh semua pihak
yang terkait. Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah :
Pertama, bagi pemerintah dan Deplu agaknya masih perlu
membagi perhatiannya terhadap isu-isu konvensional seperti klaim teritorial
ini. Di tengah maraknya isu terorisme dan masalah Aceh yang sangat menguras
energi, tampaknya pemerintah masih perlu menyelesaikan banyak pekerjaan rumah
yang tertunda. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan
pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih memiliki klaim
tumpang tindih, seperti dengan Filipina, Vietnam, dan Singapura.
Kedua, mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah
Internasional tersebut yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan
pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa teritorial lainnya. Bukan tidak
mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga pertimbangan tersebut akan
menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa teritorial.
Ketiga, mempertanyakan komitmen kita kembali sebagai negara
kepulauan untuk secara efektif menguasai seluruh pulau di batas teritori kita.
Tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras dan koordinasi dari semua lembaga
yang berurusan dengan pembinaan pulau dan penjagaan wilayah laut RI. Koordinasi
ini perlu dilakukan karena masalah yang terkait dengan penjagaan wilayah laut
RI juga berkaitan dengan maraknya kejahatan transnasional. Kejahatan
transnasional yang rentan terjadi di Indonesia adalah pencurian ikan, bajak
laut, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata konvensional.
Keempat, pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih
proses sengketa Sipadan-Ligitan sebagai informasi komprehensif bagi masyarakat
pada umumnya. Kronologis sengketa ini perlu di sajikan lengkap beserta dengan
proses diplomasi yang dilakukan kedua negara agar dapat dimengerti utuh oleh
masyarkat. Pemahaman masyarakat yang tidak utuh terhadap sengketa
Sipadan-Ligitan akan menurunkan citra pemerintah dan juga dapat mengakibatkan
mispersepsi terhadap negara sahabat, Malaysia dan dunia internasional pada
umumnya.
http://bryantobing01.blog.com/indonesia-malaysia-dalam-perebutan-pulau-sipadan-dan-ligitan/
2
Nama:
Ismail Marzuki
Gelar:Pahlawan Nasional
Tanggal
Penetapan : 5 November 2004
Dasar
Penetapan : Keppres No. 89/TK/2004
Ismail Marzuki lahir di Kwitang,
Senen, Batavia, 11 Mei 1914, Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan
Maing ini merupakan salah satu maestro musik legendaris di indonesia, memang
memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan.
Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar.
Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya
mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya,
Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak
Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang
bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah
tertarik dengan lagu-lagu.
Orang tua Ismail Marzuki termasuk
golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang
dipanggil dengan nama Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar
terhadap seni musik. Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli
piringan hitam dan gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh
masyarakat Betawi tempo dulu.
Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah
Kristen HIS Idenburg, Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin.
Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat
kebelanda-belandaan, Ma'ing lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di
Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan
tiap naik kelas Ma'ing diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah
lulus, Ma'ing masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia
memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta
lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja
di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga
dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir
dirasakan kurang cocok baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak
tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor
yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta.
Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya,
pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam
bidang musik.
ismail marzuki,
biografi, profil, musisi
Selama bekerja sebagai penjual
piringan hitam, Ma'ing banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan
penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat
Kartolo). Pada 1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai
pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Tahun 1934, Belanda membentuk
Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java
mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai
menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri
antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan
"Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam
di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan
Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi
dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing
mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai
mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada
beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl".
Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung"
dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II
(1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM
mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di
Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio
Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri
dari batang bambu.
Tiap malam Minggu orkes
Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain
Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain
musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman
Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing
sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah
sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru.
Setelah dokter menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan.
Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.
Ketika Ma'ing membentuk organisasi
Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes
studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan
lagu-lagu Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu
Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada
Indonesia. Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa
Sunda menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa
Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen
bloeien". Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His
Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul "Bila Anggrek Mulai Berbunga".
Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan
penyanyi kroncong Bulis binti Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki
seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku.
PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa.
Saat itu Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan.
Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau
Melati Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk
hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
ismail marzuki,
biografi, profil, musisi
Pada periode 1943-1944, Ma'ing
menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain
"Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah
Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda
Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak
Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai.
Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat
Jalan Pahlawan Muda".
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing
terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan
"Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke
Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika
berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat
menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari
dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu,
mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai
masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat
perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata
Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi",
"Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan
Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun
sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu
"Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam".
Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya
dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi
yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan
"Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni
hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot
seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950
dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu
"Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari
para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke
100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu
ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias
Ismail Marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25 Mei
1958.
Nama
: Syamsul Arifin
Kelas : 2IC01
Npm : 27412255